Minggu, 23 Oktober 2011

Wajah Sepotong Koran

Udara di dekat danau ini begitu melenakan tubuhku diterpa angin sepoi. Meski sedih karena dicampakkan namun bisa sedikit terobati dengan suasana ini. Ada banyak wajah disini. Semua asyik dengan kesibukan masing-masing. Sepasang muda-mudi bermesraan di tempat duduk dekat danau. Seorang bapak nampak serius dengan kail pancingnya, menunggu kapan ikan memakan umpannya. Sedang pria disana duduk dibawah pohon kadang tertawa terbahak, berbisik juga berkata mesra. Ada handphone yang menempel erat pada kupingnya, entah berbicara dengan siapa. Ada juga gadis berjilbab coklat membaca buku sambil beberapa kali melirik jam tangannya seperti menunggu seseorang yang tak kunjung hadir.


Tubuh ringanku terhempas. Terbang dibawa angin namun tak ada yang peduli. Gadis berjilbab itu hanya melihatku beberapa saat setelah itu sibuk lagi dengan buku ditangannya. Rasanya aku ingin berteriak padanya.

“Tolong ambil aku, masih ada yang belum kau ketahui dariku”.



Add caption
Tapi semuanya tidak mungkin. Tubuh jelekku sudah tak mampu menarik perhatiannya. Dia sudah menunggu 2 jam lamanya, wajahnya telah menampakkan kebosanan dan aku yakin sebentar lagi dia akan beranjak dari tempat duduknya. Menunggu dengan ketidakpastian yang jelas memang membosankan. Sedang diriku? Sudah terpisah-pisah dari yang lain. Terbang kesana kemari hanya mengikuti kemana angin menerbangkan tubuhku. Seseorang telah membeli dan menelantarkanku disini. Tubuh yang demikian rapuh terinjak-injak. Terbakar terik matahari bersama daun-daun kering. Rumput keringpun tidak sudi tertutupi olehku dan hujan akan menghancurkankanku. Tak berbekas, tak berharga dan terlupakan.
 
Habis manis sepah dibuang. Begitulah diriku, setelah mendapat semua berita dariku. Bosan lalu di campakkan seperti sekarang ini. lihat saja nanti pemulung atau tukang bersih-bersih akan melumatkakku lalu masuk tong sampah. Sebegitunyakah perlakuan manusia terhadapku? Benar-benar malang.
 

Sepasang wanita datang. Lalu duduk tidak jauh dari gadis berjilbab itu. Ketidakkenalan mereka sangat terlihat jelas. Mereka tak saling menyapa dan sepertinya bukan mereka yang ditunggu gadis berjilbab itu. Salah satu dari mereka mengambilku. Untuk sejenak aku merasa tenang. Tapi ternyata tidak, dia merobek tubuhku menjadi dua bagian. Kedua wanita itu berjalan ke tepi danau dan memakai tubuhku sebagai alas duduk. Sementara gadis berjilbab itu hanya mengamati seperti tak rela tubuhku dibagi dan dijadikan alas duduk. Tapi mengapa tidak dari tadi dia mengambilku, jika benar-benar menginginkanku? Mengapa malah menginginkanku saat kedua orang ini datang dan mencabikku? Ada rasa iba yang terlukis dari wajahnya. Jelas. Dari tadi dia ingin membacaku tapi urung tersita dengan kesibukannya menunggu.
 

Tidak begitu lama sepasang wanita itu berbincang di tepi danau. Mereka pergi meninggalkan aku. Terlanjur memaknaiku sebagai sampah. Mereka keterlaluan. Angin membawa tubuhku sebagian lagi. Kini aku benar-benar sendiri. Ada lelaki yang mengendarai motor menginjakku. Sakit. Betapa tak berharganya jika seseorang telah mengambil manfaat dari diri kita. Kemudian membuangnya begi saja.
 

Perlahan gadis berjilbab itu berdiri. Berjalan ke arah seekor kucing yang sedang menjilati tubuhnya. Menyadari kedatangannya kucing itu lari tak biasa didekati manusia rupanya. Gadis berjilbab itu berdiri lagi dan melangkah. Setapak demi setapak dan sampai dihadapanku. Memungutku mengambil bagian tubuhku. Dia tidak peduli dengan sorot mata orang-orang yang berada disekitarnya dia kembali ke tempat duduknya. Berusaha menyambung tubuhku yang tekoyak kemudian membaca apa yang tertulis disetiap lembar tubuhku. Aku ingin berkata padanya.
“Terima kasih telah memungutku”.
 

Tapi tentu saja tidak bisa. Aku tidak punya mulut dan apapun yang dimiliki manusia, jika aku punya mulut aku tak akan mau diperlakukan demikian sadis oleh kedua wanita tadi. Jelas saja aku akan berceloteh menunjukkan ketidaksukaanku. Yah…aku hanya sepotong Koran yang ditinggal pemiliknya didekat danau ini. Sepotong koran yang ketika informasinya tak lagi dibutuhkan maka fungsinya akan berubah. Tidak lagi menjadi media informasi, yang jika lembar demi lembarnya hilang maka tak ada artinya lagi dimata para pembaca. Sungguh menyedihkan.
 

Gadis berjilbab sudah membaca semua informasi yang tertulis indah dan rapi ditubuhku. Sayang… lembaran yang dibacanya saat ini tak menyediakan informasi yang jelas karena ada beberapa halaman yang hilang. Dia melipat tubuhku dengan rapi lalu menaruhku disampingnya. Kembali melirik jam tangan. Mengalihkan pandangan ke seluruh taman lalu dia bergumam.
‘Dia tak akan datang’
 

Hari sudah semakin sore. Rupanya dia sudah lelah menunggu dan pulang ke rumah itu pilihan terbaik. Mengambil tas lalu beranjak pergi. Jauh. Jauh hingga tak terlihat. Gadis berjilbab itu meninggalkanku disini. Di bangku taman tepi danau yang sudah tak berpenghuni lagi. Sekali lagi aku hanya sepotong Koran. Yah…sepotong Koran.

Bidan Diary's 2

Dan apakah yang terjadi pada pagi harinya?...
Semua normal saja, pasien sudah diamankan ditempat yang nyaman tidak ada insiden berdarah-darah yang ditakutkan semua orang cuma aku dapat "bingkisan indah" dari bidan seniorku. Ceramah pagi 30 menit. Untung cuma 30 menit, kalau ceramahnya nunggu sampe telinga panas gimana? (hehehe bercanda ^^v). Isi ceramahnya juga bagus. Beliau bilang "klo nolong partus jangan sendirian, tapi bangunin saya". Yah...kalau harus dibangunkan dulu kan kasian. Bayinya kan sudah tidak sabar melihat dunia.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Bidan Diary's

Malam semakin matang, sebentar lagi berkas-berkas subuh mengantar mentari. Aku melirik jam tangan masih pukul 03.00 dini hari. Jujur saja aku memang jarang tidur jika mendapat giliran sift malam. Mataku sulit sekali terpejam, mungkin juga karena keterbatasan tempat untuk merebahkan tubuhku.
 

Sebenarnya malam itu aku tidak sendiri ada seseorang yang menemaniku. Ia terus bercerita tentang kisah cintanya. "Seperti Romeo dan Juliet saja", pikirku. Aku hanya tersenyum membayangkan kisah Romeo dan Juliet yang tidak harus berakhir dengan tragis karena meneguk racun melainkan Romeo dan Juliet yang happy ending. Ia terus berceloteh tanpa henti, sesekali tersipu malu dengan kondisi mata yang sekarat. Ngantuk! Aku hanya sesekali menanggapi dengan "Hmmm.." atau ber "Ooo.." dan jika malas bicara aku hanya menganggukkan kepala tanda merespon setiap bait ceritanya lalu kembali melanjutkan "laporan".

Kadang juga aku berdiri sejenak, merilekskan otot-otot dan syarafku yang mulai kaku karena lelah. Menulis sepanjang malam itu melelahkan ditambah keletihan karena "laporan" itu harus ditulis dengan hasil jerih payah tangan sendiri tanpa bantuan alat canggih seperti laptop dan sejenisnya.


Teman-temanku sudah terkapar. Mungkin sudah ada yang sampai ke pantai. Mengingat mereka membawa sarung khas bali sebagai selimut. Begitulah suasana piknik di Puskesmas.


Tepat pukul 04.00, ada yang mengetuk pintu kamar bersalin. Aku kaget. Temanku yang sedari tadi "bersiul" mendadak diam. Aku membuka pintu dan langsung tersenyum pada "pengunjung" yang baru saja datang. Kali ini kasusnya "Inpartu kala 2", aku bersorak dalam hati "it's time for me". Aku langsung menyambar "alat perang"ku meski aku lupa memakai "tameng". Sudahlah, kan aku tidak perang sungguhan. Set..set..set tidak cukup 5 menit, tercatat lagi bayi yang lahir dengan tanganku. Yah...ku anggap itu bayaran mahal atas begadangku.
 

Dan apakah yang terjadi pada pagi harinya???


Bersambung...

Canopus Telah Pergi

Disudut kisah kehidupan aku mengenalnya. Sosok yang tak bisa ku tafsirkan jelas. Aku menafikan keberadaannya, tapi dunia menuntut bahwa ia ada. Kenangannya membawaku jauh ke symfoni memori indah yang terus mengalun tanpa makna. Berkisah mengurai hidup dalam cerita. Bukan cinta atau apapun yang mengatas namakan itu. Ketidakjelasan memang menyakitkan dan kebingungan tentu saja ada didalamnya. Memori itu kini mengalun menyanyikan nyanyian waktu. Terus bergulir. Berdetak.

Ada jiwa menyimpan segores luka. Tak mampu mengungkap namun perih. Aku mencari puzzle kenanganku yang tertinggal. berharap semua masih utuh. Tapi semua kelabu tak berwarna. Warna hati yang terperangkap dalam kesendirian. Kejenuhan batin telah menyergap. Lelah menangis. Meratap dan berharap. Sosok itu tak akan kembali. Biarkan jejaknya mengukir luka, jangan mengais butiran-butiran waktu yang berlalu. Bukan saatnya berharap. kata yang terucap biarkan jadi mimpi. lupakan... 

Ada hari-hari penuh senyum dan canda. Hanya ada kepastian disana menghibur kesendirian dengan kisah sendiri. Menyenangkan!!! Tak ada beban bebas seperti merpati. Saat sadar sorot mata itu ku tangkap nyata. Dia hadir dengan sosok yang berbeda. Hanya sesekali menatap, mengulum senyum lalu menunduk mengurai semua maksud dalam batin. Ku tampakkan wajah ceria berbalut senyum. Inikan istananya? hati berbisik. Gerikku terbaca. Menyembunyikan semua dalam hati ternyata sia-sia. Aku memilih bungkam. Berbicara dalam diam.

Sudahlah...cerita itu sudah lama berakhir. Mengulangnya sama saja, luka akan berdarah lagi! Dia sudah lama pergi. Menjauh. Menghilang. Sosok yang dihadapanku bukan dirinya tapi manusia yang berbeda. Jalani itu pilihan. Tak ada perkenalan tak ada luka. Embun telah menjemput canopus yang terpenggal separuh cerita.

Esok masih ada hal baru! menata setiap ruang yang pernah terobrak-abrik. Tak hancur juga tak utuh. anggap ia tak pernah ada. Tak wajar jika membenci tak wajar pula jika masih menyimpan rasa. Canopus telah pergi. Jika esok mendung jangan pernah berharap ia kembali lagi...