Jumat, 11 November 2011

Makna Logo Bidan Delima

Makna yang ada pada Logo Bidan Delima adalah:

Bidan Petugas Kesehatan yang memberikan pelayanan yang berkualitas, ramah-tamah, aman-nyaman,  terjangkau dalam bidang kesehatan reproduksi,keluarga berencana dan kesehatan umum dasar selama 24 jam.


Delima Buah yang terkenal sebagai buah yang cantik, indah, berisi biji dan cairanmanis yang melambangkan kesuburan (reproduksi) Merah Warna melambangkan keberanian dalam menghadapi tantangan danpengambilan keputusan yang cepat, tepat dalam membantu masyarakat.

Hitam Warna yang melambangkan ketegasan dan kesetiaan dalam melayanikaum perempuan (ibu dan anak) tanpa membedakan

Hati Melambangkan pelayanan Bidan yang manusiawi, penuh kasih sayang(sayang Ibu dan sayang Bayi) dalam semua tindakan/ intervensi pelayanan.

Kau & Aku

Tatapan itu lagi! Tajam dan menusuk, Aku tidak suka ditatap seperti itu. Tatapan yang seolah menuntut sesuatu. Ada yang ingin kau katakan? silakan saja! Apa kau membenci setiap pertemuan kita?. Jika kau benci, mestinya jangan memandangku seperti kau ingin meminta penjelasan tentang setiap pertemuan ini. Harusnya kau bertanya pada takdir yang telah Tuhan gariskan untukmu.

Aku masih ingat ketika pertama kita saling mengenal. Kau bahkan tak punya kemampuan ingin mewujudkan sosokku dalam bentuk apa dalam imajinasimu. Semua karena kau terlalu melukisku begitu sempurna. Dan suara? Lagi-lagi suara? Mengapa seseorang begitu mudah terobsesi hanya dengan dengaungan suara?. Aku mulai benci hal ini, menilai fisik hanya karena sendunya suara. Kau mau menyalahkan aku karena ini?. Yah…sebut saja itu salahku. Bukan karena rasa ingin tahumu atau rasa ketidaktahuanmu!

Ruang itu sudah melebar sekarang, kau terlambat menutupnya. Apa yang kau rasakan setelah ini? Kaupun salah, sadar atau tidak kita sama-sama sudah melangkahi apa yang seharusnya Tuhan gariskan untuk kita. Sayangnya, aku tak pernah bisa melihat rasa bersalah itu ada dalam matamu. Terserah apa katamu, kau bilang aku terlalu cepat merasa? Terlalu sensitive? Terlalu melankolis? Dan semua apa yang dimiliki seorang wanita. Yah…aku bangga bisa menangis. jika kau tak suka, kukira sampai kapanpun kau tak akan pernah mampu menafsirkan tentang keangkuhan setiap pria menahan air mata itu.


Pada akhirnya setiap rasa bersalah itu harus kubawa. Aku ingin menguburnya. Seperti ingin melenyapkan setiap jejakmu dalam hidupku. Tapi tidak…sekarang kau malah terlalu nyata. Jangan salahkan aku jika sikapku demikian, ku biarkan kau dengan duniamu dan aku dengan duniaku meski kita berpijak didunia yang sama. Aku tak akan memprotes jika kita tak mampu bersosialisasi sebagai semestinya seorang kawan saling bertegur sapa, semua karena kesan yang ditinggalkan masa lalu.

Dan aku, tak akan memulai dari awal lagi. Biarkan ia berjalan sebagaimana mestinya. Walaupun kau seperti orang asing bagiku. Yah….biarlah, terserah apa yang ingin kau lakukan padaku sekarang. Kau acuh? Itu urusanmu. Kita tak akan sama seperti pertama mengenal, kau sudah terlanjur tahu siapa aku dan aku sudah terpaksa tahu siapa dirimu sekarang!!

Jika Belum Siap Cintai Ia Dalam Diam

Bila belum siap melangkah lebih jauh dengan seseorang, cukup cintai ia dalam diam ...
karena diammu adalah salah satu bukti cintamu padanya ...
 
kau ingin memuliakan dia, dengan tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang, kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya..

karena diammu memuliakan kesucian diri dan hatimu.. menghindarkan dirimu dari hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu ..

karena diammu bukti kesetiaanmu padanya ..
karena mungkin saja orang yang kau cinta adalah juga orang yang telah ALLAH swt. pilihkan untukmu ...

ingatkah kalian tentang kisah Fatimah dan Ali ?
yang keduanya saling memendam apa yang mereka rasakan ...
tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci nan indah

karena dalam diammu tersimpan kekuatan ... kekuatan harapan ...
hingga mungkin saja Allah akan membuat harapan itu menjadi nyata hingga cintamu yang diam itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata ...
 
bukankah Allah tak akan pernah memutuskan harapan hamba yang berharap padanya ?

dan jika memang 'cinta dalam diammu' itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, biarkan ia tetap diam ...

jika dia memang bukan milikmu, toh Allah, melalui waktu akan menghapus 'cinta dalam diammu' itu dengan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat ...

biarkan 'cinta dalam diammu' itu menjadi memori tersendiri dan sudut hatimu menjadi rahasia antara kau dengan Sang Pemilik hatimu ...

Ketika Bunga Dandelion Gugur

Kemarau pasti sangat panjang tahun ini. Tanah kering merindukan hujan. Manusia jadi begitu mendambakan air. Matahari enggan menyapa mendung, langit biru adalah sahabat. Debu-debu memarakkan jalanan kota. Bumi semakin akrab dengan polusi. 

“Kakak, hari ini pergi lagi? Dinda boleh ikut yah?”

Gadis kecil berumur 8 tahun itu merengek pada kakaknya yang siap bekerja menjual suara di lampu merah jalanan. Mencari sesuap nasi dengan mengamen.

“Dinda gak boleh ikut, hari ini panas banget. Lain kali aja yah! Pasti kakak ajak”. Bujuk sang kakak kepada adik perempuannya.

Mereka adalah sepasang kakak adik yang tak mampu lagi melanjutkan sekolah. Mereka hanya mampu membujuk para pemilik kendaraan lewat alunan nada nyanyian. Jika ada yang sudi maka perut pun bisa terisi, jika tidak besok atau mungkin juga lusa baru bisa makan lagi.
Dinda tidak diajak Agus, kakaknya mengamen. Dia ditinggalkan dirumah sendirian. Bapak dan ibunya sudah tiada, hanya rumah kumuh yang diwariskannya kepada mereka. Agus tahu Dinda tidak akan tahan berlama-lama dibawah terik matahari siang. Adiknya sakit-sakitan makanya Dinda tidak diajaknya.

Dinda merasa iba dengan perjuangan kakaknya menghidupinya. Meskipun begitu dirinya tak mampu berbuat banyak. Nekat. Dia juga tidak bisa sebab dia tidak tahu tempat-tempat kakaknya mengamen. Dinda juga tahu akan keterbatasan dirinya. Dinda hanya berdiam diri di dalam rumah atau sesekali melihat pemandangan di sekitar rumahnya. Kali ini ada yang menarik perhatiannya. Rumput dandelion di samping rumahnya mulai tumbuh. Dia mulai berpikir. Kenapa rumput ini hanya bisa tumbuh saat kemarau datang? Tidakkah ia membutuhkan air? Bukannya semua makhluk di dunia ini membutuhkan air?. Dia menyimpan semua pertanyaan itu dalam otaknya. Kelak ketika kakaknya kembali dia akan menanyakannya.

Hari sudah sore. Lembayung senja menyambut malam. Tok…tok…tok… suara pintu diketuk.

“Dinda, buka pintunya! Kakak udah pulang nih!” dinda beranjak membukakan pintu untuk kakaknya.

“Kakak, baru pulang yah? Mandi dulu deh!

“Dinda lapar kan? Nih kakak bawa makanan, maaf tadi siang gak bisa pulang bawa makan, belum dapat uang”.

“Gak apa! Dinda tahu kok, kak! Selesai mandi baru kita makan sama-sama yah”

Setelah selesai makan Dinda dan Agus duduk di depan rumah sambil menikmati lukisan malam penuh bintang.

“Kakak, Dinda mau tanya nih. Boleh?”

“Boleh. Dinda, memangnya mau Tanya apa?”

Dinda berkisah tentang tumbuhan dandelion di samping rumahnya. Bertanya mengapa tumbuhan itu hanya tumbuh saat musim kemarau? Apa ia tidak membutuhkan air?. 

“Dari mana Dinda tau kalo itu rumput dandelion” Tanya kakaknya heran.

“Dinda tau dari tivi. Waktu itu lagi nonton film kartun dirumah Mbak Ani”

Lalu kakaknya mulai menjelaskan kalau tidak semua tanaman membutuhkan air terlalu banyak. Contohnya seperti tumbuhan dandelion itu. Mungkin saja ia membutuhkan air tapi hanya menyerapnya dari dalam tanah tanpa menunggu hujan turun. Agus mampu menjelaskan semua itu karena ia sempat duduk di bangku Sekolah Dasar meskipun tidak tamat. Tidak sama dengan dinda yang memang tidak pernah bersekolah.

“Kak, tumbuhan dandelion itu ada bunganya juga loh!” seru Dinda

“Oh ya? Bunganya seperti apa? Coba Dinda cerita sama kakak”

Gadis itu lalu bercerita tentang bunga yang tumbuh dari rumput dandelion. Bunganya berbentuk bulat dan kering serbuk-serbuknya mudah terbang ketika ditiup angin. Dan ketika serbuk itu jatuh ke tanah maka tumbuhan dandelion akan tumbuh lagi.

“Kak, apa boleh Dinda menyiramnya?”

“Kalo menurut kakak sih gak usah, sebab tumbuhan liar seperti dandelion dapat bertahan hidup sesuai dengan lingkungannya” jelas sang kakak.

Dinda paham, ia juga takut ketika dandelion itu disirami air maka yang ada bunganya tidak akan tumbuh. Dinda benar-benar tak sabar ingin melihat bunga dandelion itu. Malam semakin larut. Bintang-bintang masih setia menghiasi langit. Mereka pun beranjak tidur.

Hari-hari dilalui Dinda dengan berdiam diri di rumah sedang kakaknya asyik mencari uang. Hari penantian panjang menunggu rumput dandelion berbunga. Sesekali ia hanya mengamati dari balik jendela atau duduk termenung disamping tumbuhan yang tak kunjung berbunga itu.
Sore itu Agus pulang ngamen. Pintu terbuka dan tidak didapatinya dinda di dalam rumah. Ia terus mencari-cari adiknya. Tidak biasa Dinda meninggalkan rumah dalam keadaan terbuka seperti ini. Mencari ke sekeliling rumah. Akhirnya dia menemukan adiknya pingsan di samping tumbuhan dandelion. Dinda langsung di bawa masuk ke rumah. Badannya demam. Ketika penyakitnya kambuh seperti ini Agus hanya mengompresnya dengan air dingin lalu demam dinda akan berangsur turun.

Paginya Dinda bangun. Dia mendapati kakaknya di dapur. Agus tidak pergi mengamen hari ini. Kakaknya bertanya tentang apa yang dilakukan dinda disamping rumah sampai pingsan. Dinda lalu bercerita bahwa ia menunggu rumput dandelion itu berbunga. kakaknya heran. Sebegitunyakah adiknya terhadap rumput itu?. Agus menyarankan pada Dinda, kalau Dinda boleh saja memperhatikan bunga itu tapi jangan terlalu berlebihan. Perlahan bunga itu akan tumbuh dengan sendirinya. Namanya juga rumput liar. Tapi Dinda memaknai rumput itu dengan cara yang lain. Bukan karena tumbuhnya yang liar tapi bagaimana tumbuhan itu bisa tumbuh dalam keadaan kekurangan.
Kondisi Dinda ternyata tidak seperti dugaan kakaknya. Kali ini lain, tubuhnya semakin melemah dia tak mau makan. Juga tak ingin melakukan apapun. Yang menarik perhatiannya hanya bunga dandelion itu. Agus mulai mencari bantuan ke tetangga, melihat kondisi adiknya yang mulai parah. Salah seorang tetangga mereka membawanya ke Rumah Sakit terdekat namun Dinda tidak bisa di rawat karena tidak memiliki cukup biaya. Dinda dibawa pulang lagi ke rumah. Dengan harapan Dinda bisa di rawat di rumah.

Di pertengahan musim, bunga dandelion itu berbunga. Dinda memaksa agar Agus mau menggendongnya ke samping rumah mendekati bunga dandelion itu.

“Kakak, bunganya berwarna coklat keemasan”

“Dinda sudah melihatnya kan? Jadi sekarang kita masuk yah!?”

“Dinda mau melihatnya lama-lama kak, agar kelak di surga Dinda bisa melihatnya lagi”

Agus tidak sanggup menahan air mata yang sudah dari tadi ditahannya. Dia tahu tak ada harapan lagi bagi Dinda untuk sembuh. Jika Tuhan menghendaki adiknya maka ia akan mengikhlaskannya. Mengikhlaskan kepergian Dinda. Adik yang sangat disayanginya. Adik yang membuatnya terus bertahan hidup sampai saat ini.

“Kakak, harus belajar dari bunga dandelion ini. Dia mampu hidup dalam keadaan kekurangan air sama seperti kita meski kekurangan tapi kakak harus tetap berjuang untuk mempertahankan hidup. serbuknya begitu ringan terbang bersama angin, kakak jangan menjadi beban siapapun kakak harus terus berusaha dan semangat menjalani hidup meskipun sulit. Dan kalo serbuk itu jatuh ke tanah dia akan tumbuh di mana saja. Kakak juga harus seperti itu walau berada dimanapun kakak bisa bertahan hidup”.

Itulah kata-kata terakhir dinda buat kakaknya. Dinda pergi seiring gugurnya bunga dandelion itu. Dinda pergi bersama musim hujan yang ternyata terlalu cepat mengguggurkan bunga dandelion. Bunga dandelion yang tak pernah bertahan dengan hujan.




Bulan Ku

Hujan alpa malam ini

mungkin ia enggan bertegur sapa dengen bintang-bintang dilangt biru malam ini!

Ada bulan indah temaram diatas sana bukan karena ketidakrinduanku pada bulan itu?

Aku tak pernah menghitung

Sebab aku lebih memilih kesejukan hujan...

Bulanku!

Adakah wajahmu sendu malam ini?

Maaf...keberadaanmu terusik dengan hujan 

jangan marah!

Biarkan waktu yg mengganti semusim itu

Adamu...Akan terkenang!

Kisah Putih

Aku masih disini merangkai kisah-kisah, tentang kasih aku memilih waktu mengukir kisahnya.
Sekarang aku masih mengejar mimpi! 
Aku tidak menganggap beban atas apa yg orang tuaku titipkn padaku, tapi kewajiban menyelesaikan amanah ada padaku!
Aku bahkn tak berpikir kembali pada kota yg kutingglkan dimana masih banyak hal yang belum terselesaikan!!
Tentang Cinta...
Ku biarkan ia mengalir, ku nikmati setiap kelelahan mimpi mengejar cita karena cinta
ada kehalalan yang mesti terangkai.
Cintaku bukan karena siapa dan apa sekarang, biarkan teredam...
Aku memilih mengabdikn pada para pesakit itu!

Aku Adalah Hujan

Sudah ku katakan padamu kan?

Aku ini adalah angin... 
Aku ingin kau tenang dengan tiupanku

Aku adalah awan...
Berlarilah dengan riang dibawahku

Aku adalah hujan...
Bermandilah kau padaku

Aku adalah pelangi...
Penuh warna yang hadir dari biasan rintik hujan

Ingatlah bahwa aku adalah Angin, Awan, Hujan juga Pelangi...

Izinkan rintik hujan menjabat jemari sang bumi
dan katakan,"Terima kasih, betapa lakonmu elok menyejukkanku"

Lalu senyum sang bumi rikuh malu dan tak urung
diorama pelangi mencubit bukit-bukit

"Aku tidak berlakon tanpa makna",ujar hujan dalam bisik
"Aku hanya berusaha membunuh zaman, sebab waktu tak berharga lagi bagiku..."

Lelaki Ku

Sayang...

Aku belum mengenalimu

Ketika rahim ibu berisi diriku

Sayang...

ku tak bertanya siapa?

lelaki lembut, amat lembut

ketika ku lahir, engkau berharap aku menjadi dayangmu

ketika ku besar, engkau tersenyum melihatku menjadi puterimu,

apakah lelaki selalu tegar dalam sedihnya daripada menangis, ketika mereka patah

akankah lelaki selalu ingat

dengan janji cinta pada perempuan

lelaki lembut...

jadikan aku penawar marahmu, sedihmu, tangismu, gundahmu, juga sepimu

yang kembali di hatimu

Memory Of Rainy

Dhuha telah beranjak sebentar lagi adzan dhuhur menenggelamkannya. Ada mendung yang menggantung diatas sana. Aku mengulum senyum berharap hujan. Sudah lama tak kulihat dan aku rindu sekali dengan butiran-butiran bening dari langit itu. Hawanya yang menyejukkan dan aroma bau basah. Mengingatkanku pada kota yang ku tinggalkan. Apa kabar keadaan disana? Bukankah ini kemarau?

Mendung diatas sana semakin pekat. Hujan...Turunlah! Tak usah hiraukan di bumi sedang musim apa. Tahu kah kau, aku sangat merindukanmu?

Ada sepenggal kisah dari seorang sahabat dari seberang. Semalam ia resah dan membaca tulisannya membuat mataku basah. Entahlah, aku hanya ingin menangis! Aku bisa merasakan kegalauannya dan lagi-lagi aku tak bisa menghentikannya. Semoga ia kuat berada jauh dari orang-orang yang dikasihinya.


"Sahabat sayang, mendung itu tak hanya ada dalam dirimu tapi ada juga dalam hatiku dan kegalauan yang kau hadapi sama dengan kegalauanku. Resah yang pernah dihadapi semua wanita. Kau dan aku harus berjuang keras menghindari keresahan itu. Aku tak mungkin bercerita padamu tentang bagaimana diriku yang demukian rapuh seperti cermin retak yang kehilangan semangat untuk berbenah, jika aku sendiri tak mampu menghilangkan resahmu dan kau juga tak mungkin memintamu membenahi cermin retak itu. 


Cintaku...tahu kah kau? Ada satu bagian dalam hatiku yang retak. Ia retak karena keinginanku yang terlalu tinggi yang sampai kapanpun bulan itu tak akan bisa kuraih, sepertinya aku ikhlas melerakan bulan itu untuk siapapun. yah...ikhlas, mengikhlaskan semuanya. Mempertaruhkan keikhlasan yang terenggut semua karena kesalahanku memperlakukan cinta dan hubungan dengan seseorang. Aku terpuruk karena dosa itu. Kini, aku bersusah payah membenahi cermin retak itu. bisakah? semoga.

Sahabat, bukankan masih ada Allah? Dia Maha Tahu bentuk keresahan yang kita hadapi. masih ada cinta untukmu disini. Cepatlah pulang dan aku ingin mendengar kisahmu lagi. Aku menunggumu. Ada namamu dalam setiap doaku.

Hujan turun lagi, Rabbi. aku ingin berbaur dengannya... tapi hari ini aku sedang belajar mengalahkan hawa nafsuku...

aku berusaha!!!

Minggu, 23 Oktober 2011

Wajah Sepotong Koran

Udara di dekat danau ini begitu melenakan tubuhku diterpa angin sepoi. Meski sedih karena dicampakkan namun bisa sedikit terobati dengan suasana ini. Ada banyak wajah disini. Semua asyik dengan kesibukan masing-masing. Sepasang muda-mudi bermesraan di tempat duduk dekat danau. Seorang bapak nampak serius dengan kail pancingnya, menunggu kapan ikan memakan umpannya. Sedang pria disana duduk dibawah pohon kadang tertawa terbahak, berbisik juga berkata mesra. Ada handphone yang menempel erat pada kupingnya, entah berbicara dengan siapa. Ada juga gadis berjilbab coklat membaca buku sambil beberapa kali melirik jam tangannya seperti menunggu seseorang yang tak kunjung hadir.


Tubuh ringanku terhempas. Terbang dibawa angin namun tak ada yang peduli. Gadis berjilbab itu hanya melihatku beberapa saat setelah itu sibuk lagi dengan buku ditangannya. Rasanya aku ingin berteriak padanya.

“Tolong ambil aku, masih ada yang belum kau ketahui dariku”.



Add caption
Tapi semuanya tidak mungkin. Tubuh jelekku sudah tak mampu menarik perhatiannya. Dia sudah menunggu 2 jam lamanya, wajahnya telah menampakkan kebosanan dan aku yakin sebentar lagi dia akan beranjak dari tempat duduknya. Menunggu dengan ketidakpastian yang jelas memang membosankan. Sedang diriku? Sudah terpisah-pisah dari yang lain. Terbang kesana kemari hanya mengikuti kemana angin menerbangkan tubuhku. Seseorang telah membeli dan menelantarkanku disini. Tubuh yang demikian rapuh terinjak-injak. Terbakar terik matahari bersama daun-daun kering. Rumput keringpun tidak sudi tertutupi olehku dan hujan akan menghancurkankanku. Tak berbekas, tak berharga dan terlupakan.
 
Habis manis sepah dibuang. Begitulah diriku, setelah mendapat semua berita dariku. Bosan lalu di campakkan seperti sekarang ini. lihat saja nanti pemulung atau tukang bersih-bersih akan melumatkakku lalu masuk tong sampah. Sebegitunyakah perlakuan manusia terhadapku? Benar-benar malang.
 

Sepasang wanita datang. Lalu duduk tidak jauh dari gadis berjilbab itu. Ketidakkenalan mereka sangat terlihat jelas. Mereka tak saling menyapa dan sepertinya bukan mereka yang ditunggu gadis berjilbab itu. Salah satu dari mereka mengambilku. Untuk sejenak aku merasa tenang. Tapi ternyata tidak, dia merobek tubuhku menjadi dua bagian. Kedua wanita itu berjalan ke tepi danau dan memakai tubuhku sebagai alas duduk. Sementara gadis berjilbab itu hanya mengamati seperti tak rela tubuhku dibagi dan dijadikan alas duduk. Tapi mengapa tidak dari tadi dia mengambilku, jika benar-benar menginginkanku? Mengapa malah menginginkanku saat kedua orang ini datang dan mencabikku? Ada rasa iba yang terlukis dari wajahnya. Jelas. Dari tadi dia ingin membacaku tapi urung tersita dengan kesibukannya menunggu.
 

Tidak begitu lama sepasang wanita itu berbincang di tepi danau. Mereka pergi meninggalkan aku. Terlanjur memaknaiku sebagai sampah. Mereka keterlaluan. Angin membawa tubuhku sebagian lagi. Kini aku benar-benar sendiri. Ada lelaki yang mengendarai motor menginjakku. Sakit. Betapa tak berharganya jika seseorang telah mengambil manfaat dari diri kita. Kemudian membuangnya begi saja.
 

Perlahan gadis berjilbab itu berdiri. Berjalan ke arah seekor kucing yang sedang menjilati tubuhnya. Menyadari kedatangannya kucing itu lari tak biasa didekati manusia rupanya. Gadis berjilbab itu berdiri lagi dan melangkah. Setapak demi setapak dan sampai dihadapanku. Memungutku mengambil bagian tubuhku. Dia tidak peduli dengan sorot mata orang-orang yang berada disekitarnya dia kembali ke tempat duduknya. Berusaha menyambung tubuhku yang tekoyak kemudian membaca apa yang tertulis disetiap lembar tubuhku. Aku ingin berkata padanya.
“Terima kasih telah memungutku”.
 

Tapi tentu saja tidak bisa. Aku tidak punya mulut dan apapun yang dimiliki manusia, jika aku punya mulut aku tak akan mau diperlakukan demikian sadis oleh kedua wanita tadi. Jelas saja aku akan berceloteh menunjukkan ketidaksukaanku. Yah…aku hanya sepotong Koran yang ditinggal pemiliknya didekat danau ini. Sepotong koran yang ketika informasinya tak lagi dibutuhkan maka fungsinya akan berubah. Tidak lagi menjadi media informasi, yang jika lembar demi lembarnya hilang maka tak ada artinya lagi dimata para pembaca. Sungguh menyedihkan.
 

Gadis berjilbab sudah membaca semua informasi yang tertulis indah dan rapi ditubuhku. Sayang… lembaran yang dibacanya saat ini tak menyediakan informasi yang jelas karena ada beberapa halaman yang hilang. Dia melipat tubuhku dengan rapi lalu menaruhku disampingnya. Kembali melirik jam tangan. Mengalihkan pandangan ke seluruh taman lalu dia bergumam.
‘Dia tak akan datang’
 

Hari sudah semakin sore. Rupanya dia sudah lelah menunggu dan pulang ke rumah itu pilihan terbaik. Mengambil tas lalu beranjak pergi. Jauh. Jauh hingga tak terlihat. Gadis berjilbab itu meninggalkanku disini. Di bangku taman tepi danau yang sudah tak berpenghuni lagi. Sekali lagi aku hanya sepotong Koran. Yah…sepotong Koran.

Bidan Diary's 2

Dan apakah yang terjadi pada pagi harinya?...
Semua normal saja, pasien sudah diamankan ditempat yang nyaman tidak ada insiden berdarah-darah yang ditakutkan semua orang cuma aku dapat "bingkisan indah" dari bidan seniorku. Ceramah pagi 30 menit. Untung cuma 30 menit, kalau ceramahnya nunggu sampe telinga panas gimana? (hehehe bercanda ^^v). Isi ceramahnya juga bagus. Beliau bilang "klo nolong partus jangan sendirian, tapi bangunin saya". Yah...kalau harus dibangunkan dulu kan kasian. Bayinya kan sudah tidak sabar melihat dunia.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Bidan Diary's

Malam semakin matang, sebentar lagi berkas-berkas subuh mengantar mentari. Aku melirik jam tangan masih pukul 03.00 dini hari. Jujur saja aku memang jarang tidur jika mendapat giliran sift malam. Mataku sulit sekali terpejam, mungkin juga karena keterbatasan tempat untuk merebahkan tubuhku.
 

Sebenarnya malam itu aku tidak sendiri ada seseorang yang menemaniku. Ia terus bercerita tentang kisah cintanya. "Seperti Romeo dan Juliet saja", pikirku. Aku hanya tersenyum membayangkan kisah Romeo dan Juliet yang tidak harus berakhir dengan tragis karena meneguk racun melainkan Romeo dan Juliet yang happy ending. Ia terus berceloteh tanpa henti, sesekali tersipu malu dengan kondisi mata yang sekarat. Ngantuk! Aku hanya sesekali menanggapi dengan "Hmmm.." atau ber "Ooo.." dan jika malas bicara aku hanya menganggukkan kepala tanda merespon setiap bait ceritanya lalu kembali melanjutkan "laporan".

Kadang juga aku berdiri sejenak, merilekskan otot-otot dan syarafku yang mulai kaku karena lelah. Menulis sepanjang malam itu melelahkan ditambah keletihan karena "laporan" itu harus ditulis dengan hasil jerih payah tangan sendiri tanpa bantuan alat canggih seperti laptop dan sejenisnya.


Teman-temanku sudah terkapar. Mungkin sudah ada yang sampai ke pantai. Mengingat mereka membawa sarung khas bali sebagai selimut. Begitulah suasana piknik di Puskesmas.


Tepat pukul 04.00, ada yang mengetuk pintu kamar bersalin. Aku kaget. Temanku yang sedari tadi "bersiul" mendadak diam. Aku membuka pintu dan langsung tersenyum pada "pengunjung" yang baru saja datang. Kali ini kasusnya "Inpartu kala 2", aku bersorak dalam hati "it's time for me". Aku langsung menyambar "alat perang"ku meski aku lupa memakai "tameng". Sudahlah, kan aku tidak perang sungguhan. Set..set..set tidak cukup 5 menit, tercatat lagi bayi yang lahir dengan tanganku. Yah...ku anggap itu bayaran mahal atas begadangku.
 

Dan apakah yang terjadi pada pagi harinya???


Bersambung...

Canopus Telah Pergi

Disudut kisah kehidupan aku mengenalnya. Sosok yang tak bisa ku tafsirkan jelas. Aku menafikan keberadaannya, tapi dunia menuntut bahwa ia ada. Kenangannya membawaku jauh ke symfoni memori indah yang terus mengalun tanpa makna. Berkisah mengurai hidup dalam cerita. Bukan cinta atau apapun yang mengatas namakan itu. Ketidakjelasan memang menyakitkan dan kebingungan tentu saja ada didalamnya. Memori itu kini mengalun menyanyikan nyanyian waktu. Terus bergulir. Berdetak.

Ada jiwa menyimpan segores luka. Tak mampu mengungkap namun perih. Aku mencari puzzle kenanganku yang tertinggal. berharap semua masih utuh. Tapi semua kelabu tak berwarna. Warna hati yang terperangkap dalam kesendirian. Kejenuhan batin telah menyergap. Lelah menangis. Meratap dan berharap. Sosok itu tak akan kembali. Biarkan jejaknya mengukir luka, jangan mengais butiran-butiran waktu yang berlalu. Bukan saatnya berharap. kata yang terucap biarkan jadi mimpi. lupakan... 

Ada hari-hari penuh senyum dan canda. Hanya ada kepastian disana menghibur kesendirian dengan kisah sendiri. Menyenangkan!!! Tak ada beban bebas seperti merpati. Saat sadar sorot mata itu ku tangkap nyata. Dia hadir dengan sosok yang berbeda. Hanya sesekali menatap, mengulum senyum lalu menunduk mengurai semua maksud dalam batin. Ku tampakkan wajah ceria berbalut senyum. Inikan istananya? hati berbisik. Gerikku terbaca. Menyembunyikan semua dalam hati ternyata sia-sia. Aku memilih bungkam. Berbicara dalam diam.

Sudahlah...cerita itu sudah lama berakhir. Mengulangnya sama saja, luka akan berdarah lagi! Dia sudah lama pergi. Menjauh. Menghilang. Sosok yang dihadapanku bukan dirinya tapi manusia yang berbeda. Jalani itu pilihan. Tak ada perkenalan tak ada luka. Embun telah menjemput canopus yang terpenggal separuh cerita.

Esok masih ada hal baru! menata setiap ruang yang pernah terobrak-abrik. Tak hancur juga tak utuh. anggap ia tak pernah ada. Tak wajar jika membenci tak wajar pula jika masih menyimpan rasa. Canopus telah pergi. Jika esok mendung jangan pernah berharap ia kembali lagi...