Kemarau pasti sangat panjang tahun ini. Tanah kering merindukan hujan.
Manusia jadi begitu mendambakan air. Matahari enggan menyapa mendung,
langit biru adalah sahabat. Debu-debu memarakkan jalanan kota. Bumi
semakin akrab dengan polusi.
“Kakak, hari ini pergi lagi? Dinda boleh ikut yah?”
Gadis
kecil berumur 8 tahun itu merengek pada kakaknya yang siap bekerja
menjual suara di lampu merah jalanan. Mencari sesuap nasi dengan
mengamen.
“Dinda gak boleh ikut, hari ini panas banget. Lain kali aja yah! Pasti kakak ajak”. Bujuk sang kakak kepada adik perempuannya.
Mereka
adalah sepasang kakak adik yang tak mampu lagi melanjutkan sekolah.
Mereka hanya mampu membujuk para pemilik kendaraan lewat alunan nada
nyanyian. Jika ada yang sudi maka perut pun bisa terisi, jika tidak
besok atau mungkin juga lusa baru bisa makan lagi.
Dinda tidak diajak
Agus, kakaknya mengamen. Dia ditinggalkan dirumah sendirian. Bapak dan
ibunya sudah tiada, hanya rumah kumuh yang diwariskannya kepada mereka.
Agus tahu Dinda tidak akan tahan berlama-lama dibawah terik matahari
siang. Adiknya sakit-sakitan makanya Dinda tidak diajaknya.
Dinda
merasa iba dengan perjuangan kakaknya menghidupinya. Meskipun begitu
dirinya tak mampu berbuat banyak. Nekat. Dia juga tidak bisa sebab dia
tidak tahu tempat-tempat kakaknya mengamen. Dinda juga tahu akan
keterbatasan dirinya. Dinda hanya berdiam diri di dalam rumah atau
sesekali melihat pemandangan di sekitar rumahnya. Kali ini ada yang
menarik perhatiannya. Rumput dandelion di samping rumahnya mulai tumbuh.
Dia mulai berpikir. Kenapa rumput ini hanya bisa tumbuh saat kemarau
datang? Tidakkah ia membutuhkan air? Bukannya semua makhluk di dunia ini
membutuhkan air?. Dia menyimpan semua pertanyaan itu dalam otaknya.
Kelak ketika kakaknya kembali dia akan menanyakannya.
Hari sudah sore. Lembayung senja menyambut malam. Tok…tok…tok… suara pintu diketuk.
“Dinda, buka pintunya! Kakak udah pulang nih!” dinda beranjak membukakan pintu untuk kakaknya.
“Kakak, baru pulang yah? Mandi dulu deh!
“Dinda lapar kan? Nih kakak bawa makanan, maaf tadi siang gak bisa pulang bawa makan, belum dapat uang”.
“Gak apa! Dinda tahu kok, kak! Selesai mandi baru kita makan sama-sama yah”
Setelah selesai makan Dinda dan Agus duduk di depan rumah sambil menikmati lukisan malam penuh bintang.
“Kakak, Dinda mau tanya nih. Boleh?”
“Boleh. Dinda, memangnya mau Tanya apa?”
Dinda
berkisah tentang tumbuhan dandelion di samping rumahnya. Bertanya
mengapa tumbuhan itu hanya tumbuh saat musim kemarau? Apa ia tidak
membutuhkan air?.
“Dari mana Dinda tau kalo itu rumput dandelion” Tanya kakaknya heran.
“Dinda tau dari tivi. Waktu itu lagi nonton film kartun dirumah Mbak Ani”
Lalu
kakaknya mulai menjelaskan kalau tidak semua tanaman membutuhkan air
terlalu banyak. Contohnya seperti tumbuhan dandelion itu. Mungkin saja
ia membutuhkan air tapi hanya menyerapnya dari dalam tanah tanpa
menunggu hujan turun. Agus mampu menjelaskan semua itu karena ia sempat
duduk di bangku Sekolah Dasar meskipun tidak tamat. Tidak sama dengan
dinda yang memang tidak pernah bersekolah.
“Kak, tumbuhan dandelion itu ada bunganya juga loh!” seru Dinda
“Oh ya? Bunganya seperti apa? Coba Dinda cerita sama kakak”
Gadis
itu lalu bercerita tentang bunga yang tumbuh dari rumput dandelion.
Bunganya berbentuk bulat dan kering serbuk-serbuknya mudah terbang
ketika ditiup angin. Dan ketika serbuk itu jatuh ke tanah maka tumbuhan
dandelion akan tumbuh lagi.
“Kak, apa boleh Dinda menyiramnya?”
“Kalo
menurut kakak sih gak usah, sebab tumbuhan liar seperti dandelion dapat
bertahan hidup sesuai dengan lingkungannya” jelas sang kakak.
Dinda
paham, ia juga takut ketika dandelion itu disirami air maka yang ada
bunganya tidak akan tumbuh. Dinda benar-benar tak sabar ingin melihat
bunga dandelion itu. Malam semakin larut. Bintang-bintang masih setia
menghiasi langit. Mereka pun beranjak tidur.
Hari-hari dilalui Dinda
dengan berdiam diri di rumah sedang kakaknya asyik mencari uang. Hari
penantian panjang menunggu rumput dandelion berbunga. Sesekali ia hanya
mengamati dari balik jendela atau duduk termenung disamping tumbuhan
yang tak kunjung berbunga itu.
Sore itu Agus pulang ngamen. Pintu
terbuka dan tidak didapatinya dinda di dalam rumah. Ia terus
mencari-cari adiknya. Tidak biasa Dinda meninggalkan rumah dalam keadaan
terbuka seperti ini. Mencari ke sekeliling rumah. Akhirnya dia
menemukan adiknya pingsan di samping tumbuhan dandelion. Dinda langsung
di bawa masuk ke rumah. Badannya demam. Ketika penyakitnya kambuh
seperti ini Agus hanya mengompresnya dengan air dingin lalu demam dinda
akan berangsur turun.
Paginya Dinda bangun. Dia mendapati kakaknya
di dapur. Agus tidak pergi mengamen hari ini. Kakaknya bertanya tentang
apa yang dilakukan dinda disamping rumah sampai pingsan. Dinda lalu
bercerita bahwa ia menunggu rumput dandelion itu berbunga. kakaknya
heran. Sebegitunyakah adiknya terhadap rumput itu?. Agus menyarankan
pada Dinda, kalau Dinda boleh saja memperhatikan bunga itu tapi jangan
terlalu berlebihan. Perlahan bunga itu akan tumbuh dengan sendirinya.
Namanya juga rumput liar. Tapi Dinda memaknai rumput itu dengan cara
yang lain. Bukan karena tumbuhnya yang liar tapi bagaimana tumbuhan itu
bisa tumbuh dalam keadaan kekurangan.
Kondisi Dinda ternyata tidak
seperti dugaan kakaknya. Kali ini lain, tubuhnya semakin melemah dia tak
mau makan. Juga tak ingin melakukan apapun. Yang menarik perhatiannya
hanya bunga dandelion itu. Agus mulai mencari bantuan ke tetangga,
melihat kondisi adiknya yang mulai parah. Salah seorang tetangga mereka
membawanya ke Rumah Sakit terdekat namun Dinda tidak bisa di rawat
karena tidak memiliki cukup biaya. Dinda dibawa pulang lagi ke rumah.
Dengan harapan Dinda bisa di rawat di rumah.
Di pertengahan
musim, bunga dandelion itu berbunga. Dinda memaksa agar Agus mau
menggendongnya ke samping rumah mendekati bunga dandelion itu.
“Kakak, bunganya berwarna coklat keemasan”
“Dinda sudah melihatnya kan? Jadi sekarang kita masuk yah!?”
“Dinda mau melihatnya lama-lama kak, agar kelak di surga Dinda bisa melihatnya lagi”
Agus
tidak sanggup menahan air mata yang sudah dari tadi ditahannya. Dia
tahu tak ada harapan lagi bagi Dinda untuk sembuh. Jika Tuhan
menghendaki adiknya maka ia akan mengikhlaskannya. Mengikhlaskan
kepergian Dinda. Adik yang sangat disayanginya. Adik yang membuatnya
terus bertahan hidup sampai saat ini.
“Kakak, harus belajar dari
bunga dandelion ini. Dia mampu hidup dalam keadaan kekurangan air sama
seperti kita meski kekurangan tapi kakak harus tetap berjuang untuk
mempertahankan hidup. serbuknya begitu ringan terbang bersama angin,
kakak jangan menjadi beban siapapun kakak harus terus berusaha dan
semangat menjalani hidup meskipun sulit. Dan kalo serbuk itu jatuh ke
tanah dia akan tumbuh di mana saja. Kakak juga harus seperti itu walau
berada dimanapun kakak bisa bertahan hidup”.
Itulah kata-kata
terakhir dinda buat kakaknya. Dinda pergi seiring gugurnya bunga
dandelion itu. Dinda pergi bersama musim hujan yang ternyata terlalu
cepat mengguggurkan bunga dandelion. Bunga dandelion yang tak pernah
bertahan dengan hujan.